A. Pengertian Wasiat
Kata wasiat berasal dari kata “washshaitu asy-syaia, uushii, artinya aushaltuh (aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya
. كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 180)
Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan harta yang banyak.
Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik pemberi wasiat kepada yang menerima wasiat.
Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.”
Hukum waris menurut BW mengenal pengaturan wasiat ini dengan nama testamen yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas. Dalam pasal 875 BW secara tegas disebutkan pengertian tentang surat wasiat, yaitu: ”Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.”
Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah (pemberian) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan pada 194 ayat 3 jika wasiat baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (181(
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah : 181).
B. DALIL WASIAT
Adapun dalil-dalil tentang wasiat sebagai berikut:
Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman:
............مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ............
“(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simati dan sesudah dibayarkan hutangnya.” (QS An-Nisa': 11)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ...
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kamatian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[1], jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian” (QS al-Maidah : 106)
Terdapat juga hadis-hadis yang menganjurkan seseorang itu membuat wasiat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah saw bersabda yang bermaksud:
“Seseorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-turut melainkan dia menulis wasiat disisinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 355 no: 2738, Muslim III: 1249 no: 1627, ’Aunul Ma’bud VIII: 63 no: 2845, Tirmidzi II: 224 no: 981, Ibnu Majah II: 901 no: 2699 dan Nasa’i VI: 238).
Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahawa langkah persediaan perlu diambil oleh setiap seorang Muslim dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kelalaiannya akan mengakibatkan segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.
Dalam hadis lain, Rasulullah saw bersabda yang bermaksud:
“Orang yang malang ialah orang yang tidak sempat berwasiat”.(HR Ibnu Majah)
Dalam hadis yang lain, Rasulullah saw bersabda yang bermaksud:
"Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." (HR Ibn Majah).
C. Perbedaan antara Hibah, Shadaqah, Hadiah Dan Wasiat
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara hibah, shadaqah, hadiah dan wasiat.
Hibah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa. Sedangkan Shadaqah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang (yang membutuhkan) dengan mengharap ridha Allah semata, sementara hadiah ialah pemberian sesuatu kepada seseorang tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi.
Hibah itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia. Sedangkan shadaqah untuk membantu orang-orang yang membutuhkan memenuhi kebutuhan pokonya, sedangkan hadiah sebagai kenang-kenangan dan penghargaan kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi Ali, hukum waris, hukum keluarga, hukum pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta, 1997
Toto Suryana, dkk. “Pendidikan Agama Islam”. Tiga Mutiara, Bandung 1997
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz – Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (20/76-77).2011
http://darusnal.blogspot.com/2009/11/hukum-waris-perdata-bw.html [diakses pada tanggal 8 November 2011]
Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut. Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut XXIX: 8).
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut XXIX: 8).
0 komentar:
Posting Komentar