BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut UUD 1945 pasal 15c ayat 1 “presiden memegang kekuasaam membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dwan Perwakilan Rakyat (DPR), jika suatu rancangan Undang-Undang yang diajukan presiden (pemerintah) tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 2 UUD-1945).
Tetapi dikarenakan terlalu lamanya UU itu disahkan maka keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum.
B. Tujuan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Guna memperoleh gambaran yangt nyata tentang pembentukan suatu hukum.
2. Guna memperoleh informasi tentang macam-macam cara pembentukan hukum.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut maka pembatasan masalahnya adalah:
1. Apa saja yang mnjadi faktor pembentukan hukum?
2. Apa saja macam-mcam penafsiran hukum?
D. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriftif, yaitu metode yang menyelidiki dan memecahkan masalah yang berlangsung pada masa sekarang serta tertuju pada masalah aktual, atau merupakan gejala-gejala yang nampak dewasa ini, sehingga pemecahannya dapat dilakukan berdasarkan yang diperoleh, dianalisis dan kemudian dikembangkan cara pemecahannya, lalu hasilnya dapat dipergunakan sebagai perbandingan untuk menangani masalah yang sama. Sedangkan instrument yang dipakai dalam penulisan makalah ini menggunakan metode studi literatur, yaitu teknik yang dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis sebagai pendukung untuk mendasari penelitian ini dengan cara membaca berbagai literatur yang relevan dengan penelitian. (Nana Syaodih, 2006 : 172)
E. Sistematika
Adapun sistematika dalam penulisan makalah ini adalah :
Bab I : Pendahuluan : Latar belakang, tujuan, Rumusan masalah, metode penulisan, sistematika penulisan.
Bab II : Penemuan Dan Penafsiran Hukum, mencangkup:
a. Pembentukan Hukum Oleh Hakim.
b. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum).
c. Pengisian Kekosongan Hukum
Bab III : Kesimpulan dan saran
BAB II
Penemuan Dan Penafsiran Hukum
A. Pembentukan Hukum Oleh Hakim
a. Hakim Merupakan faktor Pembentukan Hukum
Berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, menyatakan: keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentukan hukum.
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentukan hukum dalam hal peraturan-perundangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi.
Dengan perkataan lain dapatlah diakatakan, bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturan-peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat.
Oleh karena itu hakim turut menetukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak, maka Prif. Mr Paul Scholten mengatakan bahwa hakim iut menjalankan “rechtsvinding” (turut serta menetukan hukum).
b. Keputusan Hakim Bukan Peraturan Umum
Akan tetapi walaupun hakim ikut menetukan hukum, menciptakan peraturan-perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentukan perundang-undangan), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena itu keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 21 A.B., bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan ang berlaku sebagai peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan lagi dalam kitab Undang-undang Hukum Sipil pasal 1917 ayat 1, bahwa kekuasaaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu.
Selain itu apabila suatu undang-undang isinya tidak jelas, maka hakim berkewajiban untuk mentafsirkannya sehingga dapat diberikn keputuasan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.
Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang. Dan agar dapat mencapai kehendak pembuat undang-undang dan sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, maka hakim menggunakan beberapa cara penafsiran peraturan-perundangan.
B. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum).
Dengan adanya kodifikasi, hukum itu lalu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Walaupun kodifikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sepurna dam masih terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulitkan dalam pelaksaannya. Hal ini disebabkan waktu kodiufikasi dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnnya listrik.
Aliran listrik sekarang dianggap juga benda, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian.
Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka hakim sebagai penegak hukum hanya memendang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan dalam memberi keputusan hakim juga harus mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid) sehingga hukum kodifikasi berjawa hidup yang dapat mengikuti perkembangan jaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat-kebiasaan, jurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya mendapat hakim sendiri ikiu menentukan; dan untuk itu perlu diadakan penafsiran hukum.
Ada beberapa macam penafsiran, antara lain:
1. Penafsiran tata bahasa (grammatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang di pakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan ,yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang berikut: suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah “kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Seringkali keterangan kamus bahasa belum mencukupi. Hakim harus pula mencari kata yang bersangkutan dalam susunan kata-kata kalimat atau hubungannya dengan peraturan-peraturan lain. Contoh lain dalam Jurisprudensi Negeri Belanda adalah sebagai berikut: Pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus di bayar terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya daru uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum di bayar: Dalam kalimat terakhir dalam pasal 1140 ditegaskan: “tidak peduli apakah barang narang perabot rumah tersebut kepunnyaan pemilik rumah tersebut atau bukan.”
Timbullah pertanyaan, apakah pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang yang menyewakan rumah itu sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa barang itu bukan milik si penyewa sendiri? Dalam kasus seperti ini, Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 17 april 1938 telah menjawab “iya,” dengan mengambil pedoman “art perkataan-perkataan” sebagaimana dipakai dalam undang-undang.
2. Penafsiran sahih, (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentukan Undang-Undang, misalnya pasal 98 KUHP: ”malam” berari waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; pasal 101 KUHP: “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP buku I Titel IX).
3. Penafsiran historis, yaitu:
a. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah hukum tersebut, sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang bersangkutan.
b. sejaran undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk undang0undang pada waktu membuat undang-undang itu misalnya didenda f 25,-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia, sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP itu dibuat.
4. Penafsiran sistematis, (dogmatis) penafsiran penilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain misalnya “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHP menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 84, KUHS dan 279 KUHS.
5. Penafsiran Nasiaonal, ialah penafsiran menilik sesuai tidanya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak-milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila).
6. Penafsiran teleologis, (sosiologis) yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja.
7. Penafsiran ekstensif, memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” termasuk juga “benda”.
8. Ipenafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya “kerugian’ tidak termasuk kerugian yang “tak terwujud” seperti sakit, cacat dan sebagainya.
9. Penafsiran analogis, memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran), ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang di atur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.
Contoh: pasal 34 KUHS menetukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah halnya dengan seorang laki-laki? Apakah seorang laki-laki juga harus menunggu lampaunya waktu 300 hari?
Jawaban atas pertanyaan ini ialah “tidak” karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus ditujukan bagi perempuan.
Maksud “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHS ialah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah perkawinan yang berikutnya, maka menurut undang-undang anak itu adalah anak suaminya yang terdahulu (jika anak itu lahir sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan terdahulu). Ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu di anggap sebagai waktu kandunag yang paling lama.
C. Pengisian Kekosongan Hukum
Telah dijelaskan bahwa Badan Legislatif menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang kekuasaan yudikatif.
Penyusunan suatu Undang-undang kenyataanya memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga pada waktu Undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah; terbentuknya suatu peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.
Berhubungan denga itulah (peraturan-perundangan yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka hakim harus sering memperbaiki Undang-undang itu agar sesuai dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat.
Dapatlah dikatakan, bahwa hukum positif – peraturan-peraturan perundangan yang berlaku dalam suatu negara dalam suatu waktu tertentu adalah merupakan suatu sistem yang formal, yang sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan-peraturan tersebut.
a. Hakim memenuhi kekosongan hukum
Dalam hubungan ini apakah hakim menambah peraturan-perundangan maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hakim yang berlaku.
Seperti diketahui pada akhir abad ke-19, para sarjana hukum berpendapat bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan lengkap yang tertutup; diluar undang-undang tidak ada hukum dan hakim ta boleh menjalankan keadaa hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan.
Namun kemudian, paham tentang kesatuan yang bulat dan lengkap daripada hukum itu, tidak dapat diterima oleh para sarjana hukum. Prof. Mr Paul Scholten mengatakan, bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuak (open systeem van het recht).
Pedapat ini lahir dari kenyataan, bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.
Berhubungan denga itulah telah menimbulkan konsekuensi, bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan penambahan itu tidaklah membawa perubahan prinsipil paa sistem hukum yang berlaku.
b. Konstruksi hukum sebagai contoh pengisian kekosongan dalam sistem hukum dapat disebutkan sebagai berikut: pasal 1576 Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) mengatakan, bahwa penjualan (jual-beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jangka waktu sewa-menyewa itu berakhir (“Koop breekt geen huur”).
Soalnya ialah apakah “pemberian” dan “penukaran” dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa tersebut?
Berdasarkan ketentuan-ktentuan yang mengandung inti kesamaan, maka hakim membuat suati pengertian hukum yang dapat menjadi dasar hukum bagi penyelesaian persoalan tersebut di atas. Dalam soal tersebut, perbuatan menjual, perbuatan memberi (menghadiahkan), perbuatan menukar dan perbuatan mewariskan mengandung pengertian hukum “mengasingkan” (vervreemden) suatu benda.
Pengasingan (menyerahkan kepada orang lain, memidahtangankan) itu mencangkup penjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan jadi pengasingan ialah suatu perbuatan hukum oleh yang melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) sesuatu benda.
Berdasarkan inti kesamaan yang ada dalam perbuatan mewaris dan perbuatan menjual itu (yaitu ini kesamaan dalam arti mengasingkan sesuatu benda), maka hakim dapat membat suatu pengertian hukum: pengasingan tidak memutuskan sesuatu perjanjiaa sewa-menyewa.
Jadi walaupun pasal 1576 KUHS yang menetapkan, bahwa penjualan tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum jankan waktu sewa-menyewa itu berakhir, namun ketentuan pasal 1576 KUHS tersebut dapat jua dijalankan terhadap perbuatan memberikan dan mewariskan. Maka jelaslah bahwa perbuatan pemberian atau menukarkan tidak dapat memutuskan perjanjian sewa-menyewa sebelum janka waktu nya berakhir.
Dengan demikian, konstruksi hukum hakim dapat menyempurnakan sistem formal dari hukum, yakni sistem peraturan-perundangan yang berlaku (hukum positif).
Konstruksi hukum perundang-undangan dinamakan analogi. Meski pun pasal 1576 KUHS hanya menyebutkan kata “menjual”, namun Hakim masih juga dapat menjalankan analogi ketentuan tersebut dalam perbuatan memberi, menukakandan mewariskan secara legaat.
0 komentar:
Posting Komentar